SOSIOLOGI

Sabtu, 27 November 2010

makalah interaksionisme simbolik


BAB I
PENDAHULUAN
a)      Latar belakang

Teori interaksionisme-simbolik dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh-tokohnya seperti Goerge H.Mead dan Herbert Blummer. Awal perkembangan interaksionisme simbolik dapat dibagi menjadi dua aliran / mahzab yaitu aliran / mahzab Chicago, yang dipelopori oleh oleh Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan George Herbert Mead. Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam cara yang sama dari ketika studi tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk pengalaman nya, dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang. Blumer dan pengikut nya menghindarkan kwantitatif dan pendekatan ilmiah dan menekankan riwayat hidup, autobiografi, studi kasus, buku harian, surat, dan nondirective interviews. Blumer terutama sekali menekankan pentingnya pengamatan peserta di dalam studi komunikasi. Lebih lanjut, tradisi Chicago melihat orang-orang sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak dapat diramalkan. masyarakat dan diri dipandang sebagai proses, yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan inti sari hubungan sosial. Menurut H. Blumer teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka, (2) makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”, dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung. “Sesuatu” – alih-alih disebut “objek” – ini tidak mempunyai makna yang intriksik. Sebab, makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis.
 Bagi H. Blumer, “sesuatu” itu – biasa diistilahkan “realitas sosial” – bisa berupa fenomena alam, fenomena artifisial, tindakan seseorang baik verbal maupun nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”. Sebagai realitas sosial, hubungan “sesuatu” dan “makna” ini tidak inheren, tetapi volunteristrik. Sebab, kata Blumer sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian kegiatan olah mental: memilih, memeriksa, mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya. Dengan demikian, pemberian makna ini tidak didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan fungsi instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan sikap aktor atas sesuatu tersebut. Dari sini jelas bahwa tindakan manusia tidak disebabkan oleh “kekuatan luar” (sebagaimana yang dimaksudkan kaum fungsionalis struktural), tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam” (sebagaimana yang dimaksud oleh kaum reduksionis psikologis) tetapi didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut self-indication. Menurut Blumer proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses self-indication ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia memaknakan tindakan itu.  Lebih jauh Blumer dalam buku yang sama di halaman 78 menyatakan bahwa interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain, bukan hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana model stimulus-respons. Selain menggunakan Interaksionis Simbolik, kasus Sampit bisa didekati dengan metode Hermeneutik. Hermeneutik dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau falsafah yang menginterpretasi makna. Pada dasawarsa ini, Hermeneutik muncul sebagai topik utama dalam falsafah ilmu sosial, seni dan bahasa dan dalam wacana kritikan sastera yang mempamerkan hasil interpretasi teks sastera. Perkataan Hermeneutik berasal dari dua perkataan Greek: hermeneuein, dalam bentuk kata kerja bermakna ”to interpret” dan hermeneia, dalam bentuk kata nama bermakna ”interpretation”. Kaedah ini mengutamakan penginterpretasian teks dalam konteks sosiobudaya dan sejarah dengan mendedahkan makna yang tersirat dalam sesebuah teks atau karya yang diselidiki. Dokumen awal menjelaskan bahawa seorang ahli falsafah, iaitu Martin Heidegger menggunakan kaedah Hermeneutik pada tahun 1889-1976. Walau bagaimanapun, Hermeneutik telah mula dipelopori oleh Schleimarcher dan Dilthey sejak abad ke-17 dan diteruskan oleh Habermas, Gadamer, Heidegger, Ricoeur dan lain-lain pada abad ke-20. Menurut Mueller (1997), Hermeneutik adalah seni pemahaman dan bukan sebagai bahan yang telahpun difahami. Hermeneutik juga adalah sebahagian daripada seni pemikiran dan berlatarkan falsafah. Oleh itu, untuk melakukan penginterpretasian terhadap ilmu pengetahuan tentang bahasa, maka adalah penting untuk memahami ilmu pengetahuan individu. Tetapi, pada hakikatnya adalah mustahil untuk menganalisis aspek-aspek psikologi seseorang itu. Kejayaan seni penginterpretasian bergantung kepada kepakaran linguistik dan kebolehan memahami subjek yang dikajinya.  Bisa dibaca lebih jelas pada karya Stephen W. Littlejohn (1995). Theories of Human Communication, 5th Edition. Belmont, Wadsworth Publishing Company When Mead had to give up his position as a lecturer at the University of Chicago due to illness, Blumer took over and continued his work. In his 1937 article "Social Psychology", Blumer coined the term symbolic interactionism and summarised Mead's ideas into three premises: The way people view objects depends on the meaning these things have for them. This meaning comes about as a result of a process of interaction. The meaning of an object can change over time.  Blumer, 1969,  Herbert Blumer, Symbolic Interaction: Perspective and Method (1969)

b)      Masalah dan sub masalah

Penulis ingin menngetahui  prinsip dasar  interaksionisme simbolik.  Adapun sub masalahnya adalah :
Apa yang dimaksud dengan teori interaksionisme simbolik?
Apa fungsi dari teori interaksionisme simbolik?


c)      Tujuan

Dengan teori interaksionisme simbolik kita dapat  lebih mudah berinteraksi dengan orang  lain, lserta dapat membaca karakter/, budaya orang lain dgn lebih mudah

d)      Manfaat
Mengetahui teori-teori  dasar yang terdapat di dalam interaksionisme simbolik dan mempelajari budaya-budaya yang ada di masyarakat.
 
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian
Interaksionisme simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Falsa­fah dasar interaksionisme simbolik adalah fenomenologi.Namun, dibanding penelitian naturalistik dan etnografi yang juga memanfa­atkan fenomenologi, interaksionisme simbolik memiliki paradigma penelitian tersendiri. Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan atau kelompok. Karena itu bukan mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun selanjutnya juga diminati oleh peneliti budaya.
Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna interaksi budaya sebuah komunitas. Makna esensial akan tercermin melalui komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saat berkomunikasi jelas banyak menampilkan simbol yang bermakna, karenanya tugas peneliti menemukan makna tersebut.
Menurut Blomer (Spradley, 1997:7) ada beberapa premis inte­raksionisme simbolik yang perlu dipahami peneliti budaya, yaitu sebagai berikut:
Pertama, manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Misalkan, para polisi, mobil polisi, penjual minum, tipe orang, dan sebagainya dalam suatu kerumunan memiliki simbol yang bermakna khusus.
Kedua, dasar interaksionisme simbolik adalah “makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial seorang dengan orang lain. Kebudayaan sebagai suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefmisikan dalam konteks orang yang berinteraksi.
Ketiga, dari interaksionisme simbolik bahwa makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dia hadapi. Seorang polisi juga menggunakan kebudayaan untuk menginterpre­tasikan situasi.
Di samping tiga premis tersebut, Muhadjir (2000:184-185) menambahkan lagi tujuh proposisi. Tujuh proposisi tersebut terkait dengan para tokoh-tokoh penemu pendahulunya, yakni: pertama, perilaku manusia itu mempunyai makna di balik yang menggejala. Kedua pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya ke dalam interaksi sosial. Ketiga, komunitas manusia itu merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga. Keempat, pemaknaan berlaku menurut penafsiran fenomenologi, yaitu sejalan dengan tujuan, maksud, dan bukan berdasarkan mekanik. Kelima, konsep mental manusia berkembang secara dialektik. Ke­enam, perilaku manusia itu wajar, konstruktif, dan kreatif, bukan elementer-reaktif: Ketujuh, perlu menggunakan metode introspeksi simpatetik, menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap makna.
Melalui premis dan proposisi dasar di atas, muncul tujuh prinsip interaksionisme simbolik, yaitu: (1) simbol dan interaksi menyatu. Karena itu, tidak cukup seorang peneliti hanya merekam fakta, melainkan harus sampai pada konteks; (2) karena simbol juga bersifat personal, diperlukan pemahaman tentang jati diri pribadi subyek penelitian; (3) peneliti sekaligus mengkaitkan antara simbol pribadi dengan komunitas budaya yang mengitarinya; (4) perlu direkam situ­asi yang melukiskan simbol; (5) metode perlu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya; (6) perlu menangkap makna di balik fenomena; (7) ketika memasuki lapangan, sekedar mengarahkan pemikiran subyek, akan lebih baik.
Dalam pemaknaan interaksi simbolik, bisa melalui proses: (1) terjemah (translation) dengan cara mengalih bahasakan dari penduduk asli dan memindahkan rekaman ke tulisan; (2) penafsiran, perlu dicari latar belakangnya, konteksnya, agar terangkum konsep yang jelas; (3) ekstrapolasi, lebih menekankan kemampuan daya pikir manusia untuk mengungkap di balik yang tersaji; (4) pemaknaan, menuntut kemam­puan integratif manusia, inderawinya, daya pikirnya, dan akal budi.
Pemaknaan sebaiknya memang tidak mengandalkan pandangan “subjektif murni” dari pemilik budaya, melainkan menggunakan wawasan “intersubjektif’. Artinya, peneliti berusaha merekonstruksi realitas budaya yang terjadi melalui interaksi antar anggota komunitas. Pada saat interaksi itu terjadi, peneliti bisa melakukan umpan balik berupa pertanyaan-pertanyaan yang saling menunjang. Pancingan­-pancingan pertanyaan peneliti yang menggelitik, akan memunculkan makna dalam sebuah interaksi antar pelaku budaya.
Penafsiran bukanlah tindakan bebas, melainkan perlu bantuan yang lain, yaitu sebuah interaksi. Melalui interaksi seseorang dengan orang lain, akan terbentuk pengertian yang utuh. Penafsiran semacam ini menurut Moleong (2001:11) lebih esensial dalam interaksi simbolik. Oleh karena interaksi menjadi paradigma konseptual yang melebihi “dorongan dari dalam”, “sifat-sifat pribadi”, “motivasi yang tidak disadari”, “kebetulan”, “status sosial ekonomi”, “kewajiban ­peranan”, atau lingkungan fisiknya. Konsep teoritik mungkin berman­faat, namun hanya relevan sepanjang memasuki proses pendefinisian.
Implikasi interaksi simbolik menurut Denzin (Mulyana, 2002:149) perlu memperhatikan tujuh hal, yaitu: (1) simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas, (2) peneliti harus memandang dunia atas dasar sudut pandang subjek, (3) peneliti harus mengaitkan simbol dan subjek dalam sebuah interaksi, (4) setting dan pengamatan harus dicatat, (5) metode harus mencernunkan proses perubahan, (6) pelaksanaan harus berbentuk interaksi simbolik, (7) penggunaan konsep awalnya untuk mengarahkan kemudian ke operasional, proposisi yang dibangun interaksional dan universal.
Atas dasar berbagai rujukan interaksionis simbolik, peneliti budaya memang harus cermat dalam memperhatikan interaksi manusia dalam komunitas budaya. Interaksi manusia tersebut, umum­nya ada yang berencana, tertata, resmi, dan juga tidak resmi. Berbagai momen interaksi dalam bentuk apa pun, perlu diperhatikan oleh peneliti budaya. Pelaku budaya tidak dapat dianggap sebagai komu­nitas yang pasif, melainkan penuh interaksi dinamis yang banyak menawarkan simbol-simbol. Pada saat ini peneliti segera memasuki interaksi budaya pelaku.
Dalam setiap gerak, pelaku budaya akan berinteraksi dengan yang lain. Pada saat itu, mereka secara langsung maupun tidak lang­sung telah membeberkan stock of culture yang luar biasa banyaknya.
Persediaan pengetahuan budaya yang ditampilkan lewat interaksi itulah yang menjadi fokus penelitian jnodel interaksionis simbolik. Dari interaksi tersebut, akan muncul sejumlah tanda-tanda, baik verbal maupun non verbal yang unik.
Oleh karena kemajuan zaman semakin pesat, peneliti juga perlu memperhatikan ketika pelaku budaya berinteraksi melalui alat-alat canggih. Mungkin sekali mereka berinteraksi menggunakan HandPhone (HP), internet, faximile, surat dan lain-lain. Seluruh aktivitas budaya semacam itu tidak lain merupakan incaran peneliti interaksi­onis simbolik. Yang perlu diingat oleh peneliti budaya adalah, bahwa pelaku itu sendiri adalah aktor yang tidak kalah cerdiknya dengan pemain drama. Karena itu dari waktu ke waktu interaksi mereka perlu dicermati secara mendalam. Jangan sampai ada interaksi semu yang sengaja menjebak peneliti.
Menurut pandangan model interaksionis simbolik perilaku budaya akan berusaha menegakkan aturan-aturan, hukum, dan norma yang berlaku bagi komunitasnya. Jadi, bukan sebalilrnya interaksi mereka dibingkai oleh aturan-aturan mati, melainkan melalui interaksi simbolik akan muncul aturan-aturan yang disepakati secara kolektif. Makna budaya akan tergantung proses interaksi pelaku. Makna biasanya muncul dalam satuan interaksi yang kompleks, dan kadang­kadang juga dalam interaksi kecil antar individu.
Dengan’demikian, model interaksionis simbolik akan menga­nalisis berbagai hal tentang simbol yang terdapat dalam interaksi pelaku. Mungkin sekali pelaku budaya menggunakan simbol-simbol , unik atau spesial yang hanya dapat dipahami ketika mereka saling ber­interaksi. Katakan saja, kemenyan dan bunga kantil, keduanya kalau berdiri sendiri belum mewujudkan sebuah simbol bermakna. Namun, ketika benda tersebut diletakkan pada salah satu prosesi budaya, diberi mantra oleh seorang dukun dan sebagainya, barulah benda simbolik ‘ itu bermakna.
Itulah sebabnya ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan bagi peneliti interaksionis simbolik, yaitu: (1) simbol akan bermakna penuh ketika berada dalam konteks interaksi aktif, (2) pelaku budaya akan mampu merubah simbol dalam interaksi sehingga menimbulkan makna yang berbeda dengan makna yang lazim, (3) pemanfaatan simbol dalam interaksi budaya kadang-kadang lentur dan tergantung permainan bahasa si pelaku, (4) makna simbol dalam interaksi dapat bergeser dari tempat dan waktu tertentu.
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, berarti interaksionis simbolik merupakan model penelitian yang lebih cocok diterapkan untuk mengungkap makna prosesi budaya sebuah komunitas. Dari prosesi itu akan terungkap makna di balik interaksi budaya antar pelaku. Tentu saja, yang diharapkan adalah pengungkapan proses budaya secara natural, bukan situasi buatan.
Memang harus disadari bahwa interaksionis simbolik tetap memiliki berbagai kelemahan dasar. Antara lain, seringkali model penelitian ini kurang memperhatikan masalah emosi dan gerak bawah sadar manusia dalam interaksi. Interaksionisme simbolik lebih mema­hami hal-hal yang.kpnkret dalam interaksi baru ditafsirkan, padahal di balik jiwa manusia terdapat gelombang besar yang kadang-kadang tidak tampak. Namun demikian, interaksionis simbolik tetap memiliki kekuatan empiris yang patut dipuji. Di samping itu, melalui pemakna­an simbol berdasarkan interaksi, berarti penafsiran selalu berada pada konteksnya.
Grounded theory termasuk ragam atau model penelitian yang ingin mencari rumusan teori budaya berdasarkan data empirik. Dasar pemikiran model ini adalah simpulan secara induktif. Yang paling penting dalam grounded theory adalah lahirnya sebuah teori. Dalam kaitannya dengan budaya, tentu akan merumuskan teori-teori baru tentang budaya atas dasar data real. Teori tersebut akan lebih mengakar pada budaya yang bersangkutan, karena lahir dari mereka, dan kelak bisa dimanfaatkan ulang untuk mereka pula.
Grounded theory adalah ragam penelitian dasar yang berusaha: (a) mengembangkan kategori-kategori yang menjelaskan data, (b) “menjenuhkan” kategori dengan banyak kasus yang menunjukkan relevansinya, dan (c) mengembangkan kategori-kategori ke dalam kerangka analitik yang lebih umum. Jadi, grounded theory merupakan;.Z pengembangan etnografi yang tidak jauh berbeda dengan penelitian budaya kognitif. Itulah sebabnya, grounded theory justru memungkinkan lahirnya sebuah teori yang handal. Kehadiran teori baru berarti akan mengurangi pemiskinan teori budaya yang selama ini diagung­agungkan oleh pengikutnya. Melalui grounded theory, berarti budaya dibiarkan berkembang sejalan dengan zamannya.
Perkembangan justru akan menantang lahirnya teori baru. Dengan kata lain, peneli­tian budaya melalui grounded theory bukan mengejar pembuktian teori yang telah ada, melainkan menghimpun data untuk diciptakan teori.
Jika ada hipotesis, bukan seperti hipotesis positivisme rasionalistik yang menghendaki pembuktian, melainkan lebih mengem­bangkan hipotesis. Malma boleh berubah dan berkembang berdasarkan data di lapangan. Dengan demikian akan ditemukan teori yang hakiki, sejalan dengan perkembangan budaya, dan sesuai dengan kondisi setempat. Temuan teori yang berdasar data, dan bukan dari simpulan deduktif-logik, berarti ilmu akan semakin berkembang dan progresif.
Sampel pada penelitian grounded (Muhadjir, 200:125) berbeda dengan sampel positivistik-statistik. Jika positivistik ingin menguji atau verivikasi teori, sehingga sampel dipilih berdasarkan struktur populasi, grounded tidak demikian. Grounded justru bertujuan untuk menemukan dan atau tepatnya mengembangkan rumusan teori atau mengembangkan konseptualisiasi teoritik berdasarkan data-data. Karena itu, pemilihan sampel pada grounded ke arah pada kelompok atau subkelompok yang akan memperkaya penemuan ciri-ciri utama.
Data yang digunakan, memang tidak terbatas pada wawancara dan pengamatan, melainkan bisa menggunakan bahan dokumen atau referensi yang relevan. Hal ini dilakukan agar ada efesiensi kerja penelitian. Dari data tersebut akan menghasilkan sebuah teori subs­tantif dan bukan teori formal. Dalam kaitannya dengan budaya, grounded akan menemukan teori substansi budaya tertentu. Teori substansi adalah teori yang dibangun dari data berdasarkan wilayah substansi penelitian. Sedangkan teori formal jangkauannya boleh dikatakan lebih luas meliputi sekian subtansi penelitian. Kendati demikian, grounded bukan tidak mungkin menghasilkan teori formal, namun proses menuju ke situ cukup pelan-pelan dan cermat. Yakni, manakala teori budaya tadi telah sahih berlaku pada salah satu substansi, kelak akan dikembangkan pada substansi yang lebih luas atau substansi lain, sampai menghasilkan teori formal.
Penelitian grounded terhadap budaya, tidak jauh berbeda dengan penelitian kualitatif yang lain. Data dapat diperoleh dengan berbagai cara dan berbentuk apa pun, seperti dokumen, hasil wawan­cara, pengamatan, otobiografi, videotip, dan sebagainya. Yang paling harus ditekankan, grounded memang model penelitian untuk pengembangan teori. Teori budaya yang selama ini berkisar pada analisis itu-itu saja, kemungkinan besar bisa dikembangkan melalui~ model ini. Bangunan teori budaya akan semakin handal apabila; didukung oleh data empiris.
Teori dalam pandangan grounded adalah rangkaian konsep’ yang jelas. Konsep budaya seharusnya ditemukan pada realita. Konsep ` tersebut dilukiskan secara deskriptif argumentatif. Konsep dibangun dan dikembangkan lebih analitis, hubungan konsep jelas, dan meyakinkan. Namun, teori yang dihasilkan pun juga tidak kekal, tetapi masih boleh diperdebatkan. Untuk itu, peneliti grounded dituntut kecermatan luar biasa.
Basis grounded theory adalah analisis kualitatif data lapangan. Grounded theory merupakan usaha penggalian yang mendalam dengan menganalisis data secara sistematis dan intensif (sering kali­mat demi kalimat) terhadap catatan lapangan, hasil wawancara, atau dokumen. Dengan perbandingan yang konstan, data yang terkumpul, diberi kode, lalu dianalisis sehingga menghasilkan teori yang baik.
Peneliti tidak perlu terburu-buru membatasi perhatiannya pada masalah kategori. Mungkin setelah beberapa bulan di lapangan baru menemukan sejumlah kategori yang tepat. Dalam proses pengkatego­rian, kemungkinan besar lalu muncul kategori baru. Pada pertengahan penelitian, baru dilakukan pemilihan memo dan kode. Kemudian memo-memo yang terpilih diperluas, diringkas, dan difokuskan untuk menutup kesenjangnan teori yang telah muncul.
Menurut Glaser dan Strauss (Mulyana, 2002:174) ada tiga tahap yang perlu dilalui peneliti grounded, yaitu: (a) awalnya adalah me­ngembangkan kategori-kategori untuk menjelaskan data, (b) berusaha menjenuhkan kategori tersebut dengan banyak kasus yang relevan, dan (c) mengembangkan kategori ke dalam kerangka analitik yang lebih umum dengan relevansi di luar lingkungan yang bersangkutan.
Jika data kualitatif telah terkumpul seluruhnya, peneliti perlu mencurahkan perhatiannya pada pengkodean. Pengkodean merupakan proses progresif pemilihan dan pendeginisian bagian-bagian data yang terkumpul yang sejalan dengan tujuan penelitian. Analisis data dilakukan pada setiap kode (kategori). Dalam hal ini, membutuhkan kreativitas, kekekunan, ketegaran, dan sesitivitas teoritis.
Analisis harus menghasilkan sebuah konsep budaya tertentu secara jelas. Analisis ada tiga macam pengkodean, yaitu:
(a) pengkodean terbuka.
Pengkodean ini merupakan analisis yang secara khusus mengenai penamaan dan pengkategorian fenomena melalui pengkajian secara teliti terhadap data. Data dikelompok­kan ke dalam bagian-bagian terpisah, diselidiki secara cermat, dibandingkan persamaan dan perbedaannya, dan diajukan perta­nyaan tentang fenomena yang tercermin dalam data;
(b) pengkodean berporos (aksial).
Pengkodean ini berupa analisis mendalam salah satu kategori. Hal ini menghasilkan pengetahuan komulatif yang amat penting. Pengkodean berporos ini dilakukan bukan pada bulan awal, melainkan setelah berproses panjang. Sus-sub kategori dihubungan untuk melihat fenomena budaya sebagai kausal, fenomena, konteks, kondisi yang mengintervensi, strategi tindakan, dan konsekuensi. Proses ini meliputi langkah­-langkah: menghubungkan subkategori, memverifikasi hipotesis menggunakan data yang sebenarnya, melanjutkan mencari sifat­-sifat kategori, dan mulai mengeksplorasi fenomena.
(c) pengkodean selektif.
Pada saat ini peneliti mulai menentukan teori grounded (teori membumi). Pada saat ini peneliti telah memperoleh kategori yang mantap dalam kejelasan sifat, dimen­si, dan hubungan paradigmatik antar katgeori. Selanjutnya tinggal membuat konsepsi melalui kategori tersebut. Langkah yang perlu ditempuh, antara lain: pertama, menyajikan konseptualisasi ceri­ta; kedua, menghubungkan kategori-kategori pendukung dengan, kategori inti menggunakan paradigma; ketiga, menghubungkan kategori berdasarkan dimensinya; keempat, memvalidasi kategori tersebut menggunakan data; kelima, melengkapi kategori ayng memerlukan perbaikan dan atau pengembangan.
Analisis data grounded ke arah kesimpulan induksi analitik. Induksi analitik akan memungkin seorang peneliti mencocokkan antara data dengan fenomena budaya.
Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut: (1) membuat batasan secara kasar tentang fenomena, yang dijelaskan; (2) memformulasikan hipotesis untuk menjelaskan fenomena budaya tersebut berdasarkan data, penelitian lain, dan instuisi peneliti); (3) melihat satu kasus untuk mencocokkan kasus dengan hipotesis; (4) jika hipotesis tidak mampu menjelaskan kasus, sebaiknya formulasikan kembali hipotesis atau definisikan kembali fenomena; (5) mencari secara aktif kasus-kasus negatif untuk menunjuk bahwa hipotesis tidak terbukti; (6) jika kasus negatif ditemukan, formulasikan kembali hipotesis atau definisikan kembali fenomena; (7) lanjutkan sampi hipotesis dapat dibuktikan secara meyakinkan dengan menyelidiki sejumlah kasus yang berbeda (Bogdan dan Taylor, 1984:128)
Jadi hasil analisis grounded terhadap fenomena budaya bukan semata-mata pada keakuratan deskripsi, melainkan pada pengkonsepan. Tidak seperti pada peneltiian Geertz (1989) yang memiliki kekuatan deskripsi mendalam, grounded justru harus ke arah penyusunan kon­sep budaya. Dalam kaitan ini kepekaan dan sikap profesional peneliti amat menentukan pembentukan konsep atau teori budaya. Sikap semacam ini tidak tentu harus dilakukan oleh peneliti berkaliber doktor atau pun profesor. Maksudnya, siapa saja bisa melakukan grounded theory asalkan melalui prosedur yang jelas.
Cross-cultural studies sesungguhnya telah berusia panjang. Namun, aplikasinya sering terputus-putus, tergantung “pemuka” bidang kajian budaya. Jika “pemuka” (pembimbing skripsi, tesis, dan deser­tasi) memiliki mood ke arah itu, studi ini berkembang pesat. Sebalik­nya, jika “pemuka” mulai lemah dan ingin menghilangkan kejenuhan, berganti model lain, tentu studi perbandingan budaya semakin minim frekuensinya.
Model tersebut adalah sebuah pilihan pemaknaan budaya. Target yang ingin dicapai, kadang-kadang memang di luar bahasa teks budaya. Kadang-kadang lepas pula dari budaya sebagai wacana atau teks. Hal ini harus diakui (untuk sementara) karena model kajian budaya ini lebih menitik beratkan pada komparatif dan pemahaman antar budaya. Jika dipandang dari aspek ontologis, cultural-studies adalah upaya merefleksikan masalah-masalah yang muncul pada era transisi antara gejala modernisme dan postmodernisme (Panuju, 2002:59).
Pemekaran cross-cultural studies, rupa-rupanya dipicu oleh kejenuhan melihat budaya sebagai teks. Budaya sebagai teks yang sering mendewasakan bahasa simbol dan terutama studi isi (analisis isi), sering mejenuhkan. Di samping itu, analisis konten juga sering menaifkan sebuah gejala. Karena itu, kehadiran cross-cultural studies menjadi sebuah tawaran. Hanya saja, apa yang terjadi di dunia barat memang berbeda dengan di timur (Indonesia).
Di barat, mungkin banyak hal yang berupa fenomena budaya yang benar-benar nampak, sedangkan di timur fenomena justru sering simbolik. Bayangkan saja, ketika kultur Jawa memanfaatkan berbagai ungkapan, ketika dia nampak sedih padahal sebenarnya senang, ketika nampak tak bersalah padahal sebenarnya berdosa, dan seterusnya. Itulah sebabnya penerapkan cross-cultural studies di barat dan di timur memang harus bebrbeda. Perbedaan konteks fenomena budaya amat menentukan aplikasi model penelitian semacam ini.
Model kajian cross-cultural studies sebenarnya merupakan sebuah model perbandingan antar budaya. Tak jauh berbeda dengan bidang humaniora yang lain, juga mengenal sebuah bandingan, seperti sastra perbandingan, bahasa bandingan, dan sebagainya – semua bertujuan untuk mencari korelasi. Asumsi dasar dari perbandingan budaya, tak lain adanya persinggungan antar budaya. Pergesekan antar budaya, proses inkulturasi, akulturasi, asimilasi, dan sebagainya akan mengubah budaya asli. Itulah sebabnya, studi ini menjadi menarik ketika seorang peneliti dengan jeli mencoba mencari unsur-unsur kemiripan budaya pada masing-masing lokal atau wilayah.

Terjadi transformasi budaya sebagai akibat gejala mondial dan pluralisme, memang sangat memungkinkan terjadinya hubungan antar budaya. Pentingnya kajian semacam ini, tak lain untuk mencari induk dan orisinalitas budaya. Pada awalnya, cross-cultural studies. yang dipelopori E.B. Tylor memang untuk menguji korelasi antar unsur­-unsur budaya, yang kemudian untuk memantapkan generalisasi (Koentjaraningrat, 1990:16).
Tentu saja, cita-cita semacam ini telah bergeser dari waktu ke waktu, yakni pada gilirannya tak semata-mata mencari generalisasi, melainkan untuk mengetahui proses evolusi dan difusi budaya.
Kajian semacam itu biasanya membutuhkan sampel yang cukup besar. Tak hanya dalam satu wilayah, tetapi juga dapat meliputi skup di luar wilayah budaya yang bnersangkutan. Upaya demikian pernah dilakukan oleh Murdock yang mencoba mencari korelasi budaya hubungan kekerabatan patrilineal dan multilateral mencari seberapa jauh korelasi antar variabel, seperti mata pencaharian, kemampuan membuat tembikar, menenun, keahlian sebagai tukang, dan stratifikasi sosial. Selanjutnya, dia mengkaji masalah “rasa tak sehat”, bahwa dalam kebudayaan di dunia ternyata “rasa tak sehat” berbeda dengan “rasa sakit”.
Gebragan Murdock tersebut, ternyata telah melahirkan sebuah lembaga di Yale Universty dengan sebutan HRAF (Human Realations Area Files). Lembaga ini berupaya menyempurnakan metodologi, serta penyebaran hasil-hasilnya. Dari hasil-hasil berupa etnografi lengkap, mereka telah memproklamasikan adanya culture area.
Yakni, sebuah golongan budaya berdasarkan wilayah geografisnya. Misalkan saja, melalui tokoh Wissler sempat membagi kebudayaan suku bangsa Indian menjadi sembilan culture area. Gagasan serupa tampaknya juga telah mempengaruhi peneliti budaya di Indonesia, sehingga ada etnografi Batak, etnografi Bugis, etnografi Jawa, etnografi Sunda, dan sebagainya-sebagaimana tercantum dalam buku Koentjaraningrat Manusia dan Kebudayaan Indonesia.
Dampak dari ide kajian di atas, Koentjaraningrat pun ketika membuat buku Kebudayaan Jawa juga diwarnai oleh tujuh unsur kebudayaarl dunia yang dianggap universal. Ide semacam ini, ternyata telah memberangus peneliti budaya Indonesia, sehingga selalu membuat kategori etnografi sebatas tujuh unsur tersebut. Akibatnya, di Jawa saja ada sekat-sekat (era budaya) Jawa Solo dan Yogyakarta yang dianggap adiluhung, sementara di luar itu (baca: pesisiran) dianggap tak adiluhung.

Lepas dari beberapa kelemahan cross-cultural studies, kiranya telah membuka wacana peneliti budaya, manakala ingin mengungkap aspek-aspek kesamaan dan perbedaan antar budaya. Adopsi teori barat ini, tampaknya di Indonesia juga ada yang mengembangkan. Paling tidak, melalui studi komparatif akan dapat direkonstruksi kemiripan budaya, proses evolusi, serta transformasi budaya di era sekarang. Rekonstruksi akan menggambarkan aspek historis dan homogenitas. Pilar yang dikejar adalah mencari kesamaan-kesamaan budaya pada masing-masing daerah.
Ciri pokok cross-cultural studies adalah pemakaian paham positivistik. Di dalamnya harus ada peninjauan unsur-unsur budaya dari sekian banyak kebudayaan pada suatu wilayah. Usaha perban­dingan tersebut, tak lain sebagai arah mencari perampatan (generali­siasi) dari suatu ciri, pengertian, keteraturan struktural yang diperoleh – secara induktif dari penelitian kebudayaan tertentu.
Berbagai hal yang dapat diperbandingan dalam cross-cultural antara lain: (1) persepsi, yaitu bagaimana tanggapan pelaku budaya satu dengan yang lain ketika menerima dan atau menolak budaya yang hadir, (2) kognisi, yaitu membandingkan pola pemikiran pendukung budaya masing-masing, (3) kepribadian dan jati diri, yaitu memban­dingkan kepribadian dan jatidi pemilik budaya masing-masing. Tipe­tipe karakter dan etos kerja masing-masing boleh diperbandingkan. Dari berbagai hal yang dibandingkan ini, peneliti akan mencari korelasi atau hubungan kemiripan. Hubungan tersebut akan memben­tuk varian-varian budaya satu sama lain, sehingga dapat ditentukan mana budaya transformasi dan mana budaya yang asli.
Para ahli perspektif interaksionisme simbolik melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang disepakati bersama (Mulyana, 2001:84).
  1. Fungsi interaksionisme simbolik
Interaksi simbolik, menurut Herbert Blumer, merujuk pada … “karakter interaksi khusus yang berlangsung antar manusia.” Aktor tidak semata-mata bereaksi terhadap tindakan yang lain tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon aktor baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu didasarkan atas makna penilaian tersebut. Oleh karenanya, interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang lain. Dalam konteks itu, menurut Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokan, dan mentransformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi di mana dan ke arah mana tindakannya.

Teori interaksionisme simbolik sangat menekankan arti pentingnya “proses mental” atau proses berpikir bagi manusia sebelum mereka bertindak. Tindakan manusia itu sama sekali bukan stimulus – respon, melainkan stimulus – proses berpikir – respons. Jadi, terdapat variabel antara atau variabel yang menjembatani antara stimulus dengan respon, yaitu proses mental atau proses berpikir, yang tidak lain adalah interpretasi. Teori interaksionisme simbolik memandang bahwa arti/makna muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda tumbuh dari cara-cara dimana orang lain bersikap terhadap orang tersebut.
Teori interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis sosial manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan struktur yang ada di luar dirinya. Interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat.
Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif ini berupaya untuk memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Teori ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Dalam pandangan perspektif ini, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakan kehidupan kelompok.
Menurut teoritisi perspektif ini, kehidupan sosial adalah “interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol.” Penganut interaksionisme simbolik berpandangan, perilaku manusia adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau teori struktural.
Di dalam bukunya yang amat terkenal, yaitu ”Symbolic Interactionism; Perspective, and Method,” Herbert Blumer menegaskan bahwa ada tiga asumsi yang mendasari tindakan manusia (dalam Sutaryo, 2005). Tiga asumsi tersebut adalah sebagai berikut:
1)Human being act toward things on the basic of the meaning that the things have for them;
2)The meaning of the things arises out of the social interaction one with one’s fellow;
3)The meaning of things are handled in and modified through an interpretative process used by the person in dealing with the thing he encounters.
Premis pertama sampai ketiga itu mempunyai pengertian seperti ini.Pertama, bahwa manusia itu bertindak terhadap sesuatu (apakah itu benda, kejadian, maupun fenomena tertentu) atas makna yang dimiliki oleh benda, kejadian, atau fenomena itu bagi mereka. Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen tersebut bagi mereka.
Kedua, makna tadi diberikan oleh manusia sebagai hasil interaksi dengan sesamanya. Jadi, makna tadi tidak inherent, tidak terlekat pada benda ataupun fenomenanya itu sendiri, melainkan tergantung pada orang-orang yang terlibat dalam interaksi itu. Makna dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan, atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan, atau peristiwa itu) namun juga gagasan yang abstrak. Akan tetapi, nama atau simbol yang digunakan untuk menandai objek, tindakan, peristiwa, atau gagasan itu bersifat arbitrer (sembarang). Melalui penggunaan simbol itulah manusia dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang dunia.
Ketiga, makna tadi ditangani dan dimodifikasi melalui proses interpretasi dalam rangka menghadapi fenomena tertentu lainnya. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri.

BAB III
PENUTUP
  1. kesimpulan
Menurut Ritzer, kesimpulan utama yang perlu diambil dari substansi teori interaksionisme simbolik adalah sebagai berikut. Kehidupan bermasyarakat itu terbentuk melalui proses komunikasi dan interaksi antarindividu dan antarkelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar. Tindakan seseorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari luar dirinya, melainkan dari hasil sebuah proses interpretasi terhadap stimulus. Jadi jelas, bahwa hal ini merupakan hasil proses belajar, dalam arti memahami simbol-simbol, dan saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol tersebut. Meskipun norma-norma, nilai-nilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya. Singkatnya, bahwa symbolic interactionist (para pengikut teori interaksionisme simbolik) memberi dasar penalaran bahwa, there is a ‘minding’process that interveness between stimulus and response. It is this mental process, and not simply the stimulus, that determines how a man will react (Ritzer, 1980:194, dalam Sutaryo, 2005).
  1. Saran
Interaksionisme simbolik, mengikuti Mead cenderung setuju pada signifikansi kasul interaksi sosial. Jadi, makna tidak tumbuh dari proses mental soliter namun dari interaksi. Focus ini berasal dari prgmatisme Mead, ia memusatkan pada perhatian pada tindakan dan interaksi manusia, bukan pada proses mental yang terisolasi. Diantaranya, pokok perhatian utamanya bukanlah pada bagaimana orang secara mental menciptakan makna dan simbol, namun bagaimana mereka mempelajarinya selama interaksi pada umunya dan khususnya selama sosialisasi.
Orang mempelajari makna sekaligus makna dalam interaksi sosial. Kendati merespon tanpa berpikir, orang merespon simbol melalui proses berpikir. Tanda memilki arti sendiri (misalnya gesture anjing yang marah atau air bagi orang yang sekarat karena kehausan). “Simbol adalah objek sosial yang digunakan untuk merepresentasikan apa-apa yang yang memang disepakati bisa direpresentasikan oleh simbol tersebut” ( Charon, 1998: 47). Tidak semua objek sosial mewakili sesuatu yang lain, sebaliknya, simbol justru sebaliknya. Kata-kata, artefak, dan tindakan fisik, misalnya kata perahu, salib atau bintang daud, dan jabat tangan erat, semua itu dapat menjadi simbol orang sering menggunakan simbol untuk mengartikan semua tentang diri mereka. Semisal mereka menggunakan mobil BMW atau merek mobil lainya, untuk mengkomunikasikan gaya hidup tertentu.
Interaksionisme simbolik memahami bahasa sebagai sistem simbol yang begitu luas. Kata-kata menjadi simbol karena mereka digunakan untuk memaknai berbagai hal. Kata-kata memungkinkan adanya simbol lain. Tindakan, objek, dan kata lain hadir dan memiliki makna yang hanya mereka telah dan dapat digambarkan melalui penggunaan kata-kata.
Simbol menduduki posisi krusial dalam membuka kemungkinan orang bertindak secara manusiawi. Karena simbol, manusia tidak dapat merespon secara pasif realitas yang datang padanya namun secara aktif menciptakan dan menciptakan kembali dunia tempat ia bertindak (Charon, 1998: 69). Selain manfaat umum ini, simbol pada umumnya dan bahasa pada khususnya memiliki sejumlah fungsi spesifik bagi aktor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar